Berdua di Musim Corona
Bagi introvert seperti aku, himbauan di rumah aja terasa menyenangkan. Aku bersama anak-anak sudah terbiasa di rumah. Sesekali hanya keluar rumah untuk berkumpul dengan komunitas. Setiap pagi dan sore, anak-anak aku biarkan bebas bermain sepeda beberapa menit. Setelah hadir himbauan dari pemerintah untuk di rumah, tentu saja kami tidak lagi melaksanakan aktivitas seperti dahulu.
Kedua anakku adalah homeschooler. Aku menerapkan home education atau Pendidikan berbasis rumah di keluargaku. Anak-anak hanya berkumpul dengan komunitas belajar di daerahku, Cileungsi Bogor. Lalu setiap senin hingga rabu sulungku mengikuti tahfidz anak. Sekarang, semuanya kami lakukan dari rumah. Hal ini berlangsung dari pertengahan maret hingga sekarang.
Kami terbiasa beraktivitas di dalam rumah. Terlebih lagi suamiku adalah seorang guru paruh waktu. Hal itu memudahkan kami untuk menghabiskan waktu bersama. Semenjak covid 19 mulai merebak, semakin banyak hal yang dilakukan bersama keluarga. Kami membuat permen sendiri dari gula yang dibakar, membuat cakwe, donat dan aneka pangan lainnya. Lebih banyak waktu di dalam rumah menyebabkan anak-anak lebih mudah lapar. Jadi, ketahanan pangan harus berawal dari rumah.
![]() |
| Ini permen hasil buatan anak-anak. Berasal dari gula yang dipanaskan diatas sendok. |
Selain memasak, anak-anak juga sudah terbiasa membantu pekerjaan di rumah. Sebab, setinggi apapun kelak pendidikan mereka, tetap keterampilan rumah tangga yang harus dikuasai. Sulungku berusia enam tahun, ia lebih suka memasak dan terkadang mencuci karpet. Bungsuku berusia lima tahun, ia sering membantu ayah mencuci sepeda dan motor. Adakalanya mereka lebih menganggap berbagai kegiatan itu sebagai permainan. Tapi tak masalah, sertakan saja anak-anak tanpa omelan. Kelak mereka akan mencontoh kita sebagai teladannya.
![]() |
| Si bungsu paling senang main tanah. Hal ini aku manfaatkan untuk membantuku berkebun. Walaupun dirumah, anak-anak tidak pernah bosan. |
Tapi sayangnya, kegiatan menyenangkan di musim corona ini tidak berlangsung lama. Agaknya aku harus mengistirahatkan diriku sejenak. Tepat di tanggal 21 Maret 2020 aku masuk Rumah Sakit, kandunganku bermasalah. Pendarahan tak henti-hentinya walaupun sudah bedrest. Aku hanya dirawat di sehari. Ada keanehan saat itu, tidak terlihat kantong janin di rahimku. Gumpalan darah pun sudah keluar, tapi tetap saja aku merasakan sakit.
Di rumah saja saat wabah pandemik berlangsung, semakin membuatku merana. Anak-anak selalu mengajakku bermain dan berkegiatan. Namun apa daya aku melemah hari demi hari. darah masih saja keluar. Puncak kesakitan dirasakan lima hari setelah aku dirawat. Kedua anakku hanya menatap sedih ibunya yang terbaring lemas sambil memegangi perut. Suamiku mengompres perutku dengan air hangat sambil memijati kakiku agar aku tenang. Aku sengaja tidak segera ke Rumah Sakit. Aku dan suami butuh waktu berpikir dan mempertimbangkan untuk kemungkinan terburuk. Jika kehamilanku jelas belum Allah hendaki, pastilah aku akan melakukan serangkaian tindakan. Singkat kata, kami memikirkan dana. Perasaanku mengatakan, aku masih baik-baik saja seandainya pergi ke RS besok pagi.
Aku menuju RS Al-Fauzan Jakarta Timur sabtu pagi. Dokter kandungan memeriksaku. Aku divonis mengalami kehamilan ektopik. Calon janinku tidak berkembang di Rahim. Kantong janinku berada pada saluran telur. Jelas sudah sekarang, mengapa kadar hormon kehamilanku masih tinggi dan mengapa perutku sedemikian sakitnya hingga aku tak berdaya. Embrio berada pada saluran telur (tuba falopii). Seharusnya embrio tumbuh di rahim, kehamilanku kali ini sungguh menyakitkan. Namun, selalu ada buah yang dapat dipetik dari setiap kejadian.
Aku melaksanakan operasi mendadak pukul 18.00 nanti. Setelah melaksanakan serangkaian tes darah di siang hari, aku berpuasa selama enam jam. Oleh karena besok hari minggu, seluruh dokter libur. Jika operasi dilaksanakan hari senin, dokter tidak menjamin apakah keadaanku akan tetap baik saja atau memburuk. Hari itu, alam sungguh memudahkan operasiku. Seluruh kerabat dokter kandunganku, dokter Prita, sudah menyanggupi untuk datang di sore hari. maklum saja RSIA tempatku operasi tidak terlalu besar. Jadi hanya ada beberapa dokter disana. Akupun memasuki ruang OK (Operatie Kamer).
![]() |
| Memasuki kamar operasi seperti masuk ke dalam ruang antara. Saat itu aku hanya berpasrah. Aku pasti sembuh. Hanya itu pikiranku saat itu. |
Di ruang operasi ada enam tenaga medis. Mereka menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) lengkap. Aku tidak terlalu mengingat kejadian ketika dioperasi. Aku hanya mendengar suara kesibukan dari para dokter. Menurut suamiku, aku dibawa ke ruang HCU (High Care Unit) pukul 19.40. aku masih tidak sadarkan diri. Aku sadar pukul sepuluh malam. Sungguh luar biasa rasa sakitnya ketika pengaruh obat bius hilang. Salah satu indung telurku baru saja diangkat. Ada sayatan di perutku. Perih, nyeri, pegal, semua campur aduk. Hormatku pada ibu yang melahirkan melalui jalur saecar.
![]() |
| Di ruang rawat inap pun dokter tetap mengenakan APD. Ini dojter kandungan sedang mengganti perban di jahitanku. |
Aku opnam selama tiga hari di RS. Anjuran stay home kini berubah bagiku dan suami. Tagline kami menjadi stay hospital. Apapun kami jalani bersama selama tiga hari. suamiku selalu sabar merawatku. Sesekali kami melakukan video call pada anak-anak kami yang dititipkan bersama eyangnya. Kami rindu anak-anak. Tapi aku lebih prioritas pada kesehatanku. Hari ketiga pasca operasi aku sudah bisa jalan perlahan. Kami pulang kerumah.
Kami kembali lagi menjadi anak rumahan. Melakukan bersama berdua. Anak-anak masih bersama bulekku, yang biasa mereka panggil Eyang Nur. Aku harus bedrest. Bekas jahitan yang masih basah menyebabkan mobilitasku terbatas. Belum lagi pusing dan mual yang melanda setiap aku bangun dari tidur. Dokter bilang itu pengaruh dari obat bius yang disuntikkan ke tulang belakangku.
Hari ini sudah hari kelima pasca operasi. Sakit kepalaku sudah mulai berkurang. Bekas jahitan di perut bawahku tentu saja masih nyeri. Keadaan ini semakin membuatku beralasan dan betah berlama dirumah. Suamiku masih dengan kesibukan work from home nya sebagai guru seni. Ia pun tidak pernah bosan memasak, mencuci dan melakukan kegiatan rumah tangga lainnya.
Aku baru menyadarinya semalam. Adanya corona, nasehat dirumah aja dan segala jenis jargon lainnya tentu mendatangkan pelajaran bagi kita semua. Termasuk kejadian yang menimpaku. Jujur saja, semenjak memiliki anak, aku tidak memiliki waktu berdua dengan suamiku. Pasca operasi ini, apapun kami lakukan bersama. Makan bersama, tidur siang bersama, hingga malampun kami masih saja berbincang. Aku merindukan masa berdua dengannya. Mungkin dengan jalan inilah aku bisa kembali merekatkan tali kasih yang sempat merenggang. Jalan yang sedikit sakit, tapi aku yakin berujung bahagia.
Untuk teman-teman, tetap semangat melawan corona dengan berkegiatan dirumah. Sementara aku, masih tetap dirumah sembari menahan rasa sakit di perutku. Tidak mengapa, karena sakit bisa bisa menggugurkan dosa. Laa ba’sa thohurun, Insyaa Allah.




aku yg ambivert, dimana ada disi ekstrovert dan juga merasa betah dirumah tapi ada segmen tersendiri yg ingin banget untuk keluar rumah
BalasHapus