Radius 100 m
Ibuku dulu selalu bilang kalau cari jodoh harus yang lebih tua. Berbeda dengan ibuku, simbahku bilang kalau sudah usia dua puluh lima, seorang wanita wajib menikah. Terakhir bulekku, kalau cari suami sebaiknya yang sudah PNS. Suatu yang sangat lumrah ketika para tetua memberi saran ini dan itu. Orangtua memberi saran berdasarkan pemikiran diri sendiri. Sama halnya ketika para blogger menuliskan berdasarkan argumen dari isi kepala masing-masing.
Tidak semua nasihat dari para famili aku abaikan. Nasihat bukan seputar benar atau salah, bukan dari siapa pula kita memperolehnya. Nasihat yang baik adalah saran yang diberikan pada kondisi yang tepat. Kondisi dan suasana yang tepat mengakibatkan sang penerima nasihat bisa membedakan ini baik atau tidak untuk dirinya. Jika nasihat yang diberikan tentang jodoh, biasanya anak muda terlalu abai. Sebab jodoh seperti tidak bisa memilih dan dipilih. Tiba-tiba ia hadir mengisi setengah jiwamu. Ia yang tanpa sadar kau panjatkan dalam doa, telah terkirim nyata tanpa peduli sebuah nasihat. Kilat atau lambat adalah sebuah uji coba kesabaran yang harus kau lalui. Hal itu terjadi padaku, sebelas tahun silam.
Tahun 2008 aku masih kuliah tingkat akhir. Beruntung aku tidak terlalu suka berpergian. Rutinitasku hanya kuliah, kerja kelompok, lalu sorenya aku bekerja paruh waktu sebagai guru les privat pelajaran SD dan SMP. Sesekali aku kumpul di kos kosan teman belakang kampus. Jika ada jam kosong pun aku dan teman-teman sesekali ke mall seberang kampus hanya untuk membeli minuman atau makan di solaria. Hingga bulan Agustus bertepatan dengan kegiatan karang taruna dirumahku, adalah dia seorang lelaki muda yang entah mengapa tampak begitu ringan. Ringan untuk tersenyum padaku dan ringan untuk mengajakku bicara. Pria kurus berkulit putih itu tetanggaku, bukan lima langkah dari rumah, tapi lima puluh Sembilan langkah. Jarak rumahku dan rumahnya tidak sampai 100 meter.
Kami bertetangga sejak kecil. Entah mengapa takdir mendekatkan kami di usia kami yang sudah dua puluh dua tahun. Selama hampir satu tahun ia bolak balik kerumahku untuk meminjam banyak novel. Aku ingat novel pertama yang ia pinjam adalah “Gege Mengejar Cinta” karya Adhitya Mulya. Setelah itu ia meminjam apapun buku bacaan yang aku punya. Awalnya aku pikir ia gemar membaca sepertiku, ternyata tidak. Peminjaman berkala itu adalah sebuah modus. Modus untuk menyemai cinta melalui perpustakaan dadakan dirumahku.
Tahun 2009 aku sudah resmi lulus dari universitas keguruan. Pria tukang senyum itu belum juga lulus. Padahal tahun kelahirannya sama denganku. Oh iya, kami berasal dari universitas yang sama hanya saja berbeda kampus. Ia kampus A dan aku kampus B. setelah tahun ini aku terbiasa pergi ke kampus bersamanya. Setelah aku lulus aku tidka langsung bekerja. Aku masih harus mendatangi kampus karena tugasku sebagai asisten dosen belum selesai. Asisten dosen anatomi tumbuhan hanya bekerja sekali dalam sepekan. Tugasku hanya membantu adik kelas mengamati preparat awetan tumbuhan dan menjelaskan sedikit materi tentangnya. Apapun itu, aku berangkat ke kampus bersama tetanggaku. Sepekan sekali yang begitu teringat bagiku. Baiklah, aku harus mengakui dia bukan sekedar tetangga seratus meterku.
Tahun 2010 tetanggaku akhirnya lulus. Aku pun sudah mendpaat pekerjaan sebagai guru SD di bilangan Depok. Ajaibnya, si tukang senyum itu sudah menjadi guru seni rupa di sebuah SMP swasta. Lokasi kerja kami berdekatan hanya terpaut tiga km. kamipun semakin sering berbarengan, terutama saat jam pulang sekolah. Namun hal ini tidak berlangsung lama. Aku harus mengajar beberapa siswa inklusi dan anak-anak yang membutuhkan les tambahan sepulang sekolah. Aku membutuhkan kendaraan bermotor agar mobilitasku lebih mudah. Akhirnya scoopy merah lah yang menjadi andalanku. Aku seorang lady biker, tanpa SIM tentunya.
Awal tahun 2012 akhirnya si tukang senyum melamarku. Sudah terlalu banyak cerita di kehidupan kami. Sudah banyak pula mimpi-mimpi yang kami rancang. Sudah saatnya langit menyatukan kami. Aku sudah agak melupakan nasihat keluargaku tentang suami yang harus lebih tua, suami yang PNS, dan banyak lagi. Ini jodohku, kalau jodoh gak kemana-kemana. Ada betulnya kalimat itu, jodohku memang ada didekatku karena ternyata ia radius seratus meter dari rumahku.

Komentar
Posting Komentar