Teman-teman pernah dengar tentang inner child?
Aku lebih memilih untuk tidak pernah tahu akan hal ini. Namun karena aku terlanjur tahu, maka akan aku sedikit ceritakan bagi kalian yang belum familiar. Inner child pada intinya adalah pengalaman masa kecil yang masih terbawa hingga dewasa. Inner child ada yang positif dan negatif. Contoh yang positif adalah saat kecil kita megingat bahwa ayah sering mengajak Ayra bermain, maka ketika besar Ayra menjadi pribadi yang penyayang dan berpendirian kuat karena dekat dengan sang ayah. Sebaliknya, Budiman selalu mendapat perlakuan kasar dari ayahnya, ketika dewasa ia menjadi pemarah dan pemberontak.
Kejadian pada diri seseorang di masa kecil akan membentuk sebagian dirinya. Buruknya, jika pengalaman itu adalah hal yang tidak mengenakkan. Ayah berlaku keras, ibu jauh dari kelembutan, atau teman sekolah yang kerap membully adalah sebagian kecil contoh yang akan menjadi inner child negatif. Hal inilah yang sekarang menjadi perhatian besar banyak orang. Adanya istilah inner child ini membuat beberapa pakar mengadakan terapi healing inner child.
Beberapa tahun lalu, aku sempat ingin mengikuti terapi tersebut. Namun aku urungkan ketika aku banyak belajar dari gurunda dan beberapa teman di komunitas belajarku. Terkadang, jauh lebih baik kita tidak tahu istilah apapun daripada mengetahuinya lantas bikin mumet. Sejak aku tahu istilah inner child, jujur saja sering aku menyalahkan orangtua ku mengapa dahulu aku diasuh dengan pola demikian dan demikian. Aku seolah tidak terima dengan kekurangan diriku lalu menyalahkan orangtuaku.
Bapak dulu sangat sibuk, sampai-sampai akhir pekan pun harus pergi ke kantor. Saat kecil, aku merasa kurang sentuhan dan perhatian seorang bapak. Ibu pun selalu memarahiku karena aku anak pertama, tidak ada diskusi panjang terlebih dahulu saat aku berkelahi dengan kedua adikku. Seumur hidup aku kerap disalahkan, pendapatku jarang didengar. Mbak selalu salah, Mbak harus mengalah, dan mbak harus menjadi contoh. Tiga kalimat itulah yang terlalu sering aku dengar setiap hari.
Ada beberapa akibat dari masa kecilku demikian. Sebelum aku tahu istilah innerchild aku santai saja. Namun begitu mengetahuinya aku malah terlalu banyak menyalahkan orangtuaku. Siapakah aku yang berhak bersikap demikian?. Akupun sadar bahwa hal demikian tidak tepat. Sikap menyalahkan orang lain adalah sikap tidak dewasa. Aku mengganggap perangai burukku adalah aku yang belum selesai. Ada beberapa fitrah yang belum terselesaikan. Fitrah individualitasku yang tergerus karena dipaksa berbagi dengan adik-adikku padahal aku tidak ingin. Fitrah seksualitasku yang hilang entah kemana karena kurang sentuhan bapak dan ibu. Fitrah sosialku yang kerap di bully oleh teman-teman karena kepercayaan diriku yang amat rapuh akibat sering disalahkan dirumah sendiri.
Tugasku sebagai manusia dewasa adalah menyelesaikan fitrahku yang hilang di masa lalu, bukan menyalahkan orang lain. Masa kecilku yang kurang baik, cukup jadi ibroh saja agar aku tidak berulang hal yang sama. Maafkan segala cerita masa lalu karena itu adalah cerita kiriman langit. Sahabatku Bunda Rita bilang, “ Jika mengingat keburukan masa lalu, cukup Imani rukun iman ke-5.”. Halus dan lurus hatiku saat itu, dimana aku diminta mempercayai dan meyakini setiap takdir yang terjadi pada diri kita. Aku hanya perlu mengingat bahwa takdir ditulis oleh pena-Nya bukan penaku yang tiap saat bisa kuubah sesuai inginku.
Aku lebih memilih untuk tidak pernah tahu akan hal ini. Namun karena aku terlanjur tahu, maka akan aku sedikit ceritakan bagi kalian yang belum familiar. Inner child pada intinya adalah pengalaman masa kecil yang masih terbawa hingga dewasa. Inner child ada yang positif dan negatif. Contoh yang positif adalah saat kecil kita megingat bahwa ayah sering mengajak Ayra bermain, maka ketika besar Ayra menjadi pribadi yang penyayang dan berpendirian kuat karena dekat dengan sang ayah. Sebaliknya, Budiman selalu mendapat perlakuan kasar dari ayahnya, ketika dewasa ia menjadi pemarah dan pemberontak.
Kejadian pada diri seseorang di masa kecil akan membentuk sebagian dirinya. Buruknya, jika pengalaman itu adalah hal yang tidak mengenakkan. Ayah berlaku keras, ibu jauh dari kelembutan, atau teman sekolah yang kerap membully adalah sebagian kecil contoh yang akan menjadi inner child negatif. Hal inilah yang sekarang menjadi perhatian besar banyak orang. Adanya istilah inner child ini membuat beberapa pakar mengadakan terapi healing inner child.
Beberapa tahun lalu, aku sempat ingin mengikuti terapi tersebut. Namun aku urungkan ketika aku banyak belajar dari gurunda dan beberapa teman di komunitas belajarku. Terkadang, jauh lebih baik kita tidak tahu istilah apapun daripada mengetahuinya lantas bikin mumet. Sejak aku tahu istilah inner child, jujur saja sering aku menyalahkan orangtua ku mengapa dahulu aku diasuh dengan pola demikian dan demikian. Aku seolah tidak terima dengan kekurangan diriku lalu menyalahkan orangtuaku.
Bapak dulu sangat sibuk, sampai-sampai akhir pekan pun harus pergi ke kantor. Saat kecil, aku merasa kurang sentuhan dan perhatian seorang bapak. Ibu pun selalu memarahiku karena aku anak pertama, tidak ada diskusi panjang terlebih dahulu saat aku berkelahi dengan kedua adikku. Seumur hidup aku kerap disalahkan, pendapatku jarang didengar. Mbak selalu salah, Mbak harus mengalah, dan mbak harus menjadi contoh. Tiga kalimat itulah yang terlalu sering aku dengar setiap hari.
Ada beberapa akibat dari masa kecilku demikian. Sebelum aku tahu istilah innerchild aku santai saja. Namun begitu mengetahuinya aku malah terlalu banyak menyalahkan orangtuaku. Siapakah aku yang berhak bersikap demikian?. Akupun sadar bahwa hal demikian tidak tepat. Sikap menyalahkan orang lain adalah sikap tidak dewasa. Aku mengganggap perangai burukku adalah aku yang belum selesai. Ada beberapa fitrah yang belum terselesaikan. Fitrah individualitasku yang tergerus karena dipaksa berbagi dengan adik-adikku padahal aku tidak ingin. Fitrah seksualitasku yang hilang entah kemana karena kurang sentuhan bapak dan ibu. Fitrah sosialku yang kerap di bully oleh teman-teman karena kepercayaan diriku yang amat rapuh akibat sering disalahkan dirumah sendiri.
Tugasku sebagai manusia dewasa adalah menyelesaikan fitrahku yang hilang di masa lalu, bukan menyalahkan orang lain. Masa kecilku yang kurang baik, cukup jadi ibroh saja agar aku tidak berulang hal yang sama. Maafkan segala cerita masa lalu karena itu adalah cerita kiriman langit. Sahabatku Bunda Rita bilang, “ Jika mengingat keburukan masa lalu, cukup Imani rukun iman ke-5.”. Halus dan lurus hatiku saat itu, dimana aku diminta mempercayai dan meyakini setiap takdir yang terjadi pada diri kita. Aku hanya perlu mengingat bahwa takdir ditulis oleh pena-Nya bukan penaku yang tiap saat bisa kuubah sesuai inginku.
Komentar
Posting Komentar