Seseorang yang memiliki pandangan hidup uang agak berbeda dari kebanyakan tentu akan menuai beberapa problem. Seperti aku, dimana orangtuaku selalu mempermasalahkan perihal anakku yang tidak mengambil jalur sekolah formal. Setiap aku mengunjungi ibu hanya berkutat seputar hal itu. Padahal terlalu banyak hal yang bisa diperbincangkan, yang pastinya tidak berujung pada perdebatan. Jika hal itu terjadi aku memilih diam dan menyibukkan diri dengan kedua anakku.
Sama halnya dengan kedua orangtua suamiku. Pendapat diantara mertua dan suami, lalu mertua dan aku kerap berbeda. Apapun posisinya, orangtua atau bukan, orang yang tegak ego nya pasti tetap akan mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana dulu bapak mertuaku kesal dengan aku yang akan resign dari pekerjaanku, “Hari gini gak kerja, kalau sudah kayak raya sih gak papa!”.
Kalimat itu masih terngingang hingga kini. Namun aku sudah tidak merasa sakit lagi. Seseorang boleh saja memberikan argumennya. Tetapi aku diam saat bapak dan ibuku menyerangku dengan berbagai argumen yang intinya tidak menyukai keputusanku. Aku? Tidak terlalu banyak bicara tapi tetap pada keputusanku. Aku takut, saat sedang kesal aku malah bisa mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakkan hati orangtua kami. Saat marah, lebih baik diam.
Diam memang belum tentu emas. Namun diam saat berhadapan pada orangtua saat kita tidak ditanyaitu bisa menjadi pilihan terbaik. Ketika sedang marah, aku melatih untuk menyadari ritme bernapas. Ritme yang lebih cepat saat berhadapan dengan orang lain pertanda tidak baik. Aku berusaha atur agar ritmenya kembali ke kecepatan normal. Ternyata benar, aku hanya perlu mencari jeda waktu sepersekian detik untuk mengatur irama bernapas.
Pengaturan ritme bernapas ini penting dilakukan di segala hal. Saat berhadapan dengan siapapun hati, pikiran, dan pernapasan harus saling berkoordinasi. Atur sedemikian rupa agar tidak ada hati yang tersakiti. Kalimat istighfar paling ampuh untuk mengatur irama menghirup udara yang cepat itu. Aku pun masih sangat berlatih manajemen bernapas. Aku tidak ingin menyakiti hati orang terdekat disekitarku.
Namun begitu, besar perhatianku terhadap orangtua. Secara naluri,orangtua kita lah yang merasa paling berandiil besar dalam kehidupan kita. Wajar saja jika nasehat demi nasehat selalu diluncurkan. Terkadang memang nasehat itu tidak sesuai dengan diri ini. Terkadang nasehat pun berbeda tipis dengan keinginan orangtua yang dahulu belum selesai lantas dilimpahkan secara tidak langsung ke diri anak-anaknya. Tapi tetap saja, bicara baik dengan mereka adalah kewajiban. Merangkai kalimat halus nan baik di depan orangtua adalah keniscayaan. Berlatihlah untuk bicara lembut karena suatu hari nanti kita akan menua. Kita akan menjadi orangtua di masa depan.
Orang muda yang menjadi tua berubah pula perasaannya. Perasaan orangtua yang renta itu amat halus, salah ucap sedikit akan menjadi kesedihan. Sebalinya, bahagia sedikit saja akan menjadi embun segar di tengah hari bolong baginya. Belum terlambat untuk bicara lembut dan berlaku santun terhadap ayah dan bunda kita. Terlambat itu, saat kita berniat menjadi baik ketika mereka sudah menjadi penduduk surga.
Sama halnya dengan kedua orangtua suamiku. Pendapat diantara mertua dan suami, lalu mertua dan aku kerap berbeda. Apapun posisinya, orangtua atau bukan, orang yang tegak ego nya pasti tetap akan mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana dulu bapak mertuaku kesal dengan aku yang akan resign dari pekerjaanku, “Hari gini gak kerja, kalau sudah kayak raya sih gak papa!”.
Kalimat itu masih terngingang hingga kini. Namun aku sudah tidak merasa sakit lagi. Seseorang boleh saja memberikan argumennya. Tetapi aku diam saat bapak dan ibuku menyerangku dengan berbagai argumen yang intinya tidak menyukai keputusanku. Aku? Tidak terlalu banyak bicara tapi tetap pada keputusanku. Aku takut, saat sedang kesal aku malah bisa mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakkan hati orangtua kami. Saat marah, lebih baik diam.
Diam memang belum tentu emas. Namun diam saat berhadapan pada orangtua saat kita tidak ditanyaitu bisa menjadi pilihan terbaik. Ketika sedang marah, aku melatih untuk menyadari ritme bernapas. Ritme yang lebih cepat saat berhadapan dengan orang lain pertanda tidak baik. Aku berusaha atur agar ritmenya kembali ke kecepatan normal. Ternyata benar, aku hanya perlu mencari jeda waktu sepersekian detik untuk mengatur irama bernapas.
Pengaturan ritme bernapas ini penting dilakukan di segala hal. Saat berhadapan dengan siapapun hati, pikiran, dan pernapasan harus saling berkoordinasi. Atur sedemikian rupa agar tidak ada hati yang tersakiti. Kalimat istighfar paling ampuh untuk mengatur irama menghirup udara yang cepat itu. Aku pun masih sangat berlatih manajemen bernapas. Aku tidak ingin menyakiti hati orang terdekat disekitarku.
Namun begitu, besar perhatianku terhadap orangtua. Secara naluri,orangtua kita lah yang merasa paling berandiil besar dalam kehidupan kita. Wajar saja jika nasehat demi nasehat selalu diluncurkan. Terkadang memang nasehat itu tidak sesuai dengan diri ini. Terkadang nasehat pun berbeda tipis dengan keinginan orangtua yang dahulu belum selesai lantas dilimpahkan secara tidak langsung ke diri anak-anaknya. Tapi tetap saja, bicara baik dengan mereka adalah kewajiban. Merangkai kalimat halus nan baik di depan orangtua adalah keniscayaan. Berlatihlah untuk bicara lembut karena suatu hari nanti kita akan menua. Kita akan menjadi orangtua di masa depan.
Orang muda yang menjadi tua berubah pula perasaannya. Perasaan orangtua yang renta itu amat halus, salah ucap sedikit akan menjadi kesedihan. Sebalinya, bahagia sedikit saja akan menjadi embun segar di tengah hari bolong baginya. Belum terlambat untuk bicara lembut dan berlaku santun terhadap ayah dan bunda kita. Terlambat itu, saat kita berniat menjadi baik ketika mereka sudah menjadi penduduk surga.
Komentar
Posting Komentar