Ini sudah tahun ke-5 orangtua dan mertuaku mengirimiku pesan whatsapp perihal tes seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sejak aku resign sepertinya tiada bosan orang-orang terdekatku secara tidak langsung memintaku untuk mencoba tes tersebut. Terlebih lagi beberapa sepupu aku dan suami yang berhasil lolos. Semakin keras bujukan mereka kepada kami, terutama aku. Seperti biasa, ketika aku menerima pesan itu langsung ku tekan lama pesan tersebut lalu ku pilih simbol recycle bin. Lalu ku balas pesan seluruh sanak famili, terimakasih infonya.
Abdi negara dan profesi lainnya adalah pekerjaan baik. Seluruh profesi adalah baik selama tujuan kita dan niat kita pun baik. Hanya saja, aku tidak pernah ingin menjadi PNS. Bagaimana rasanya ketika kamu sangat ingin menjadi penulis, lalu orangtuamu memintamu untuk sekolah kedokteran?. Tentu saja hal yang tidak berasal dari hati hasilnya tidak akan baik. Sayangnya, hingga saat ini mereka masih belum memahami keinginanku. Mungkin aku akan bicara suatu hari nanti agar mereka tahu bahwa aku tidak ingin.
“Aku ingin segera usia 35 deh!”, ujarku suatu hari pada suamiku. Sebetulnya aku bukan tipe orang yang bisa mengungkapkan apa keinginanku pada orang lain. Aku hanya bercerita banyak pada suami dan adik perempuanku. Ketika aku berusia 35 tahun maka batasku untuk mengikuti CPNS sudah expired dan keluargaku tidak akan mengirimiku pesan panjang itu lagi. Tapi hal itu hanyalah sanggahanku yang tidak akan secepat itu tercapai. Paling tidak aku harus menerima 2-3 kali pesan yang sama hingga usiaku mencapai tiga puluh lima. Aku hanya butuh bersabar, bukankah hal yang tidak menyenangkan disekitar kita sebetulnya hanyalah ujian dari langit?
“…. Si Anu sudah keterima di Sekolah Negeri lho, terus si Fulan juga udah penempatan di Departemen ini lho, sekarang terlihat Makmur…”.
Begitulah kurang lebih curhatan orangtua kami sesekali ketika kami datang. Singkat kata, keluarga menginginkan kami mengikuti seleksi agar lulus, Makmur, dan tidak pusing memikirkan hari tua karena dapat pesangon dari pemerintah.
Apa yang keluarga sarankan tentu demi kebaikan kami. Namun tetap saja, hal itu bukanlah bagian peran hidup kami. Banyak jalan menuju kemakmuran, dan bukankah rezeki manusia sudah diatur jauh sebelum kita lahir?. Segala takdir kita sudah dituliskan dalam Lauh Mahfudz. Aku tidak mungkin menjelaskan hal ini pada orangtua kami yang lanjut usia. Tugas kami hanyalah berbuat baik kepada orangtua kami dan bertakwa kepadaNya agar rezeki selalu dilapangkan.
Hal tersebut yang selalu aku ingat saat ketika orangtua kami kerap bercerita tentang kesuksesan (dunia) orang lain. Aku ingat akan hak dan kewajibanku saja. Aku harus memenuhi hak mereka untuk membahagiakan keduanya, bahkan keempatnya. Aku juga ingat kewajibanku agar selalu menjadi hamba yang masih belajar patuh terhadap segala PerintahNya. Hak dan kewajibanku bukan untuk mengikuti tes CPNS. Bahagia orangtuaku pun tidak sebatas seleksi abdi negara, cari cara bahagia di jalan lain agar mereka bisa menerima keputusan kami yang lebih memilih menjadi enterpreuner dari rumah sendiri.
Komentar
Posting Komentar