Langsung ke konten utama

Domikado yang Menghilang

Kemarin kami sekeluarga mengunjungi eyang di daerah Sentul, Bogor. Daerah tersebut terletak kaki Gunung Salak, Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Hal itu menyebabkan daerah Sentul sering mengalami hujan orografis. Hujan orografis adalah hujan yang terjadi di daerah pegunungan. Udara yang mengandung uap air bergerak naik ke atas pegunungan sehingga terjadi penurunan suhudan terkondensasi akhirnya turun hujan di lereng gunung. Oleh karena itu setiap bertandang ke sana kami selalu membawa empat jas hujan. Jarak dari rumah kami ke Sentul sekitar 33 km.

Hujan sore itu berlangsung berjam-jam. Mulai dari pukul lima sore hingga ba’da isya. Di rumah eyang ada tiga anak kecil, kedua anakku dan sepupu cilikku, Tito,  yang masih berusia sembilan tahun. Tentulah hujan menyebabkan pergerakan anak-anak jadi lebih terbatas. Aku pribadi tidak menyukai waktu senggang anak-anak diisi oleh gadget. Akhirnya aku memutuskan untuk mengajak mereka bermain aneka permainan semasa kecilku dulu.

“Kita bermain domikado yuk!”, ajakku sore itu.
Anakku yang sudah aku sering ajak bermain domikado tentu langsung menyodorkan kedua tangannya.
Namun, Tito yang sudah lebih besar dari anakku menunjukkan wajah bingungnya.
“  mainan apaan tuh mbak?”
Kami pun menjelaskan kepadanya jenis dan cara permainan ini. Baru beberapa detik dimainkan Tito paham dan girang sekali ketika ikut bermain.

Permainan domikado sedemikian familiar di zamanku. Jika ada anak yang berlum pernah bermain domikado seumur hidupnya tentulah agak mengherankan. Maraknya permainan digital tentu tidak bisa dijadikan alasan. Permainan tradisional bisa mereka kenal melalui orangtua atau paman dan bibinya. Kasus seperti ini membuatku jadi penasaran.
“ Jadi Tito main apa kalau istirahat atau pas libur di rumah?”, tanyaku.
“ main bola sama kartu kadang tanding game di hp kalau weekend.”

Jawaban Tito agaknya jamak untuk anak-anak jaman sekarang. Bukan sebuah generalisir, tapi kenyataannya demikian. Tidak lagi kita temukan anak-anak bermain engklek di halaman rumahnya. Hampir tidak ada bocah berlarian memperebutkan benteng di tiang listrik atau pohon besar. Bahkan tidak lagi kudengar nyanyian anak kecil bernyanyi ular naga, orang kaya orang miskin, dan lagu pak camat berjualan tomat itu.

Haruskah kalah dengan produk digital?
Padahal bermain tidak dengan menggunakan alat adalah permainan terbaik. Bermain dengan memaksimalkan olah tubuh dan suara kencang adalah stimulus dan kegembiraan terbaik. Masih ada waktu untuk mengenalkan pada mereka. Permainan tradisional bukan hal using yang harus disimpan rapat di dalam etalase. Permainan tradisional harus dijadikan tradisi pada anak cucu kita. Senyum terkembang dan celoteh ringan kepada teman riuh terdengar saat permainan lama itu dimainkan. Tidakkah kita rindu dengan nyanyian ringan domikado eskado eska?

Jadi,
Siapakah yang kalah dan menyerah dengan produk digital?
Anak-anak atau para orang dewasa?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Anak-Anak Sulit Membedakan Kanan dan Kiri?

Kanan, kiri kulihat saja  Banyak pohon cemaraaa…aaa Kanan kiri, kulihat saja Banyak pohon cemaraaaa… Siapa yang tidak mengenal lagu tersebut. Ayah dan bunda pasti pernah menyanyikannya waktu kecil. unsplash.com Lalu sekarang menyanyikannya bersama ananda tercinta. Tapiiii…. Kalo tiba-tiba mereka bertanya,  “Bunda, sebelah kanan yang mana sih?” Nah lho, udah nyanyi enak-enak, ternyata mereka belum bisa membedakan mana bagian kanan dan kiri.  ***** Hal inilah yang sering dirasakan sebagian orang tua.  Hal ini seringkali tidak disadari, walaupun mereka makan dan menerima benda menggunakan tangan kanan, dan istinja dengan menggunakan tangan kiri. Ketika menerima perintah, "Kakak tolong ambilkan bawang merah di kotak sebelah kanan botol minyak." Bagi anak yang belum paham, akan sejenak berpikir dan mencari bagian yang dimaksud bunda. Bagi ananda yang sama sekali kebingungan, akan terus celingukan mencari mana kanan dan kiri. Hal ini dinamakan left and right...

After School Doctor, Serial Jepang Unik, Hangat dan Penuh Empati (Sebuah Review)

www.imdb.com Judul Film (Serial): After School Doctor Sutradara: Yuma Suzuki, Kentaro Nishioka Penulis: Mayu Hinase (manga), Kayo Hikawa Tahun rilis: 2024 Episode : 10 Genre: Drama (medis dan sekolah)  Pemeran: Kouhei Matsushita (dr. Makino), Aoi Morikawa (Ibu guru Shinoya), Horan Chiaki (Ibu Guru Yoshino), dll Platform: Netflix Manga Houkago Karute  After School Doctor adalah series yang berasal dari negeri sakura. Series ini berasal dari manga yang berjudul Houkago Karute yang ditulis oleh Mayu Hinase. Cerita ini diawali dengan dokter Makino, seorang dokter anak yang dipindah tugaskan ke sebuah Sekolah Dasar. Ia menjadi dokter penanggung jawab di Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).  Dokter Makino dipindahkan karena beberapa masalah pribadi yang terjadi di sana. Ia terkenal dengan dokter anak yang keras, dingin dan selalu bicara apa adanya. Karakternya pun tidak banyak berubah ketika bertugas di UKS. Dokter Makino memiliki kemampuan analisis dan observasi yang taj...

PJB 5, Komik Islami yang Bergizi dan Renyah

Judul buku: Pengen Jadi Baik (5) Nama pengarang buku: Squ Tahun terbit buku:2019 Penerbit: Wak Up Early Ketebalan buku: v+155 halaman Harga: Rp 50.000 “Angel investor yang kumaksud disini adalah orang baik yang mau memberi pinjaman kepada kita tanpa mengharapkan tambahan apapun, tanpa bunga, tanpa balas jasa, tanpa ambil untung apapun,. Hanya murni menolong, ikhlas, Lillahi Ta’ala.” (Pengen Jadi Baik, halaman 32) Potongan isi tersebut ada di dalam seri ke-5 dari Pengen Jadi Baik. Seperti seri sebelumnya, Pengen Jadi Baik tetap menjadikan abah, Mama K, dan Kevin sebagai tokoh utamanya. Komik ini mudah diterima seluruh kalangan. Bahasa yang mudah dipahami dan adanya tokoh Kevin yang selalu diceritakan di tiap jenjang usianya ikut meringankan cerita ini. Berbeda dari seri sebelumnya, yakni PJB 4, membaca PJB 5 seperti kembali membaca tiga seri sebelumnya. Pada PJB 4 hampir 50% nya menceritakan seputar ibadah haji yang keluarga Abah laksanakan. PJB 5 kembali menceritakan keseh...