Judul buku: Terusir
Nama pengarang buku: Buya Hamka
Tahun terbit buku:2016
Penerbit: Gema Insani
Ketebalan buku: viii+132 halaman
Nomor edisi buku: ISBN 9786022502920
Anak itu diserahkannya belajar jauh-jauh, dilepaskannya dari rumah tangganya, tetapi hati anak itu tidak dikendalikannya dari rumah. Sebab itu, bila anak itu telah hilang dari rumah putuslah pertaliannya dengan orangtuanya
Potongan kalimat tersebut berasal dari bab ke-5 buku berjudul terusir karya Buya Hamka. Buku ini menceritakan tentang Mariah seorang istri sekaligus ibu yang terusir dari rumahnya sendiri oleh suaminya, Azhar. Azhar termakan fitnah oleh sanak keluarganya yang mulai membenci kehadiran Mariah. Mariah pun pergi dari rumah sebatang kara, dari Sumatera hingga Pulau Jawa.
Kehidupan Mariah begitu sengsara setelah dikeluarkan dari rumahnya sendiri. Cerita berlatar belakang tanah minang ini menunjukkan pola pikir masyarakat zaman dulu yang masih kedaerahan. Keluarga Azhar bermaksud memisahkan Mariah dan Azhar. Azhar pun nantinya bisa menikah kembali dengan wanita pilihan ibunya. Dengan demikian keluarga suami Mariah itu bisa memperoleh sebagian harta Azhar yang kini sudah semakin sukses. Namun apa mau dikata, Mariah kini hidupnya tiada menentu, ibu mana yang seolah tidak berjiwa ketika dipisahkan dari anak semata wayangnya.
Namun karena sastra ini berlatar belakang di tahun 1930 an, menggunakan bahasa melayu yang kental akan bahasa puitisnya. Selain itu, hampir di tiap cerita mengisahkan tentang kepedihan para tokohnya. Konflik hampir tak pernah lepas dari setiap bab. Sehingga, ketika membacanya perasaan dan pikiran kita seperti terus berkontraksi. Relaksasi terjadi saat kelulusan Sofyan menjadi mahasiswa terbaik dan saat Sofyan akhirnya dapat bertemu ibunda.
Nama pengarang buku: Buya Hamka
Tahun terbit buku:2016
Penerbit: Gema Insani
Ketebalan buku: viii+132 halaman
Nomor edisi buku: ISBN 9786022502920
Anak itu diserahkannya belajar jauh-jauh, dilepaskannya dari rumah tangganya, tetapi hati anak itu tidak dikendalikannya dari rumah. Sebab itu, bila anak itu telah hilang dari rumah putuslah pertaliannya dengan orangtuanya
Potongan kalimat tersebut berasal dari bab ke-5 buku berjudul terusir karya Buya Hamka. Buku ini menceritakan tentang Mariah seorang istri sekaligus ibu yang terusir dari rumahnya sendiri oleh suaminya, Azhar. Azhar termakan fitnah oleh sanak keluarganya yang mulai membenci kehadiran Mariah. Mariah pun pergi dari rumah sebatang kara, dari Sumatera hingga Pulau Jawa.
Kehidupan Mariah begitu sengsara setelah dikeluarkan dari rumahnya sendiri. Cerita berlatar belakang tanah minang ini menunjukkan pola pikir masyarakat zaman dulu yang masih kedaerahan. Keluarga Azhar bermaksud memisahkan Mariah dan Azhar. Azhar pun nantinya bisa menikah kembali dengan wanita pilihan ibunya. Dengan demikian keluarga suami Mariah itu bisa memperoleh sebagian harta Azhar yang kini sudah semakin sukses. Namun apa mau dikata, Mariah kini hidupnya tiada menentu, ibu mana yang seolah tidak berjiwa ketika dipisahkan dari anak semata wayangnya.
Tokoh selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah Abdul Halim, sahabat Azhar. Beliaulah yang menyarankan Azhar agar mencari Mariah hingga ketemu. Satu-satunya orang yang menasehati Azhar bahwa apa yang terjadi adalah fitnah semata. Sofyan, putra kesayangan Azhar pun semakin dewasa. Sofyan menjadi pemuda gagah nan intelek. Pendidikannya yang cukup tinggi menjadikan Sofyan seorang Sarjana Hukum, pengacara terkemuka di kotanya. Profesi termashyur itulah yang pada alhirnya membuat Sofyan bisa bertemu ibunya kembali.
Karya Sastra Hamka yang berjudul terusir ini mencampturadukkan emosi dan emosi terdalam perihal cinta, kehilangan, fitnah, permusuhan dan kasih sayang. Saat membacanya seperti berada langsung di dekat Mariah, merasakan kepedihan Mariah yang menempuh hidup terjal dan Azhar yang sangat kesepian dan renta hingga tiada pernah menikah selepas kepergian Mariah. Emosi pembaca benar-benar bermain saat membaca bab demi bab, bahjan setiap bagian cerita seolah menetap di hati.
Namun karena sastra ini berlatar belakang di tahun 1930 an, menggunakan bahasa melayu yang kental akan bahasa puitisnya. Selain itu, hampir di tiap cerita mengisahkan tentang kepedihan para tokohnya. Konflik hampir tak pernah lepas dari setiap bab. Sehingga, ketika membacanya perasaan dan pikiran kita seperti terus berkontraksi. Relaksasi terjadi saat kelulusan Sofyan menjadi mahasiswa terbaik dan saat Sofyan akhirnya dapat bertemu ibunda.

Komentar
Posting Komentar