Assalamu’alaikum
Selamat pagi teman-teman!
Itulah masa kecil, dilihat, direkam, dicerna, dan dimplementasikan sesuai rekamannya biasanya melalui pretend play. Namun tentunya jangka pendek. Sayangnya dulu profesi penulis cukup kasat mata, jadi sangat jarang seorang anak kecil bercita-cita menjadi penulis.
Aku saat aqil baligh hingga menikah senang sekali menulis fiksi. Hanya senang menulis, tidak pernah dipublikasikan. Saat itu hanya media cetak yang menjadi satu-satunya media agar tulisanku dibaca orang. Aku belum ingin dan tepatnya belum percaya diri. Setiap aku menulis, hanya teman kampusku yang membaca. Beberapa tetangga dan saudara sepupu juga ikut menjadi pembaca setiaku. Cukup, publikasi yang demikian pun aku sudah senang. Semangat dan komentar positif mereka menjadi pacu baru untuk membuatku menulis, masih fiksi.
Lulus kuliah aku menjadi seorang guru. Tidak diragukan lagi, aku yang terlalu senang membagi ilmu harus menjadi seseorang yang juga berprofesi sebagai pencari dan pembagi ilmu. Profesi guru sains cocok untukku, sudah sesuai dengan jurusanku. Namun ada yang hilang, hampir separuh waktuku hanya untuk mengajar dan mengajar. Aku hanya sibuk menulis lesson plan. Tidak,bukan ini yang aku maksud. Ternyata aku tidak pandai membagi waktu. Kemana ceritaku? Dimana diksi-diksi beraturan itu? Tak kudengarkan lagi suara teman-teman yang ingin membaca ceritaku. Parahnya lagi, kuabaikan kemampuan menulisku, itu anugerah, Allah yang memberikannya. Aku egois.
Setelah menikah di tahun 2012 aku semakin sok sibuk, mengurus keluarga dan mengurus sekolah adalah hal yang semakin membuatku tak menyentuh lagi kata-kata indah. Kalian tahu, saat kecakapan bahasa mulai dijauhkan maka akan berpengaruh pada kecakapan budimu. Perangaiku mulai tak keruan, harus kukatakan bahwa menulis adalah salah satu obat mujarab. Aku lupa dimana aku meletakkan obat itu.
Tahun 2015 adalah titik balikku. Ketika aku memutuskan untuk resign, menjalani fitrahku sebagai seorang hamba, istri dan juga ibu. Ada yang salah ketika aku di luar sana. Banyak fitrah yang tergores, hingga aku melupakan sengaja fitrah bakat ku sebagai pelajar penulis. Fitrah adalah isi jiwa yang diinstal langsung oleh Allah. Aku sudah terlalu banyak menyakiti fitrahku sendiri. Hello my soul, this is me. I’m home, begitu aku bisikkan pada jiwaku.
Perlahan-lahan kutata kembali hidupku. Kupelajari dan kulakoni peranku melalui kehidupan. Menjalani semuanya dengan rileks. Ku kembalikan lagi peran diri ini, sebagai hambaMu, istri dan ibu. Saat itu, aku melakukan registrasi ulang menjadi pelajar penulis. Di usia 29 tahun aku mulai belajar menjadi blogger. Blogger receh, yang menceritakan sebagian hidupku pada halamanku. Tidak peduli siapa saja yang membacanya, yang penting aku bisa menulis. Terimakasih suami yang sudah memfasilitasi semuanya. Dan aku mulai mencintai non fiksi, seputar kehidupanku atau saran tentang apapun seputar keluarga, apapun itu, aku bisa menulis lagi. I’m student now.
MaaSyaa Allah Tabarakallah, bukan main aku terkejut saat melihat viewer blog ku sudah ribuan. Aku tak paham apa itu CEO, tapi coba tuliskan agar banyak pembaca, kata orang begitu. Aku pun mengikuti saran mereka. Tujuanku mulai berubah, saat aku menuliskan blog awalnya hanya ingin kembali menumpahkan hobiku. Mencari obat yang sedemian lama kucari-cari. Setelah begitu banyak pembaca sekaligus meminta saran terhadap salah satu topik di blogku, maka akupun menjadi tukang sharing. Begitulah kawan, tanpa disadari, ketika memilih menjadi penulis non fiksi aku mendapat dua poin. Dua hal yang sangat aku suka, membagi ilmu dan bermain kata.
Sedemikian baiknya Allah yang sudah melimpahkan banyak nikmat pada kita. Tugas kita hanya merawatnya. Agar nikmat dalam wujud fitrah dalam diri ini dapat bermanfaat bagi orang lain. Menjadi penulis hanyalah salah satu peran, peran kita sebagai manusia tentu banyak. Jangan sampai terlewat, jika menjadi penulis dapat membuat dirimu menjadi semakin baik, maka lanjutkanlah.
Apa indikator kau menjadi semakin baik?
Saat kau merasa kau semakin dekat denganNya, dan semakin ogah melakukan apa yang Dia larang terhadap umatnya.
Baarakallahu fiikum
Semoga Allah memberkahi kita semua
With love,
Mama Dhiyaan dan Danish
Selamat pagi teman-teman!
Hari ini aku mau istirahat dulu dari dunia per sharing an hihihi. Aku mau sedikit bercerita tentang mengapa aku suka sekali menulis. Sama seperti kalian yang cinta dengan dunia kepenulisan. Menjadi penulis tidak termasuk cita-citaku dari kecil. Zaman kecil dulu biasanya kita selalu ingin jadi apa yang sering kita lihat. Sering bertemu dokter, ingin menjadi dokter. Sering bertemu ibu guru di sekolah, kepingin kelak jadi bu guru. Bisa juga seperti sulungku yang hampi tiap hari bertemu tukang ikan lele, katanya ia mau jadi bos lele besar nanti.
Itulah masa kecil, dilihat, direkam, dicerna, dan dimplementasikan sesuai rekamannya biasanya melalui pretend play. Namun tentunya jangka pendek. Sayangnya dulu profesi penulis cukup kasat mata, jadi sangat jarang seorang anak kecil bercita-cita menjadi penulis.
Aku, sama seperti sebagian kalian baru menyadari kemampuan menulis sejak aqil baligh. Sejak itulah kita tidak lagi meniru kegiatan orang lain seperti masa balita dulu. Mulai ada kekuatan dan kepercayaan diri. Aku bisa menulis karena terbiasa menulis. Terbiasa menulis karena sering membaca. Kapasitas isi kepalaku tidak bisa ditambahkan memori eksternal. Karena itu, aku tuang sebagian dalam bentuk tulisan, cerita pendek, fiksi.
Aku saat aqil baligh hingga menikah senang sekali menulis fiksi. Hanya senang menulis, tidak pernah dipublikasikan. Saat itu hanya media cetak yang menjadi satu-satunya media agar tulisanku dibaca orang. Aku belum ingin dan tepatnya belum percaya diri. Setiap aku menulis, hanya teman kampusku yang membaca. Beberapa tetangga dan saudara sepupu juga ikut menjadi pembaca setiaku. Cukup, publikasi yang demikian pun aku sudah senang. Semangat dan komentar positif mereka menjadi pacu baru untuk membuatku menulis, masih fiksi.
Lulus kuliah aku menjadi seorang guru. Tidak diragukan lagi, aku yang terlalu senang membagi ilmu harus menjadi seseorang yang juga berprofesi sebagai pencari dan pembagi ilmu. Profesi guru sains cocok untukku, sudah sesuai dengan jurusanku. Namun ada yang hilang, hampir separuh waktuku hanya untuk mengajar dan mengajar. Aku hanya sibuk menulis lesson plan. Tidak,bukan ini yang aku maksud. Ternyata aku tidak pandai membagi waktu. Kemana ceritaku? Dimana diksi-diksi beraturan itu? Tak kudengarkan lagi suara teman-teman yang ingin membaca ceritaku. Parahnya lagi, kuabaikan kemampuan menulisku, itu anugerah, Allah yang memberikannya. Aku egois.
Setelah menikah di tahun 2012 aku semakin sok sibuk, mengurus keluarga dan mengurus sekolah adalah hal yang semakin membuatku tak menyentuh lagi kata-kata indah. Kalian tahu, saat kecakapan bahasa mulai dijauhkan maka akan berpengaruh pada kecakapan budimu. Perangaiku mulai tak keruan, harus kukatakan bahwa menulis adalah salah satu obat mujarab. Aku lupa dimana aku meletakkan obat itu.
Tahun 2015 adalah titik balikku. Ketika aku memutuskan untuk resign, menjalani fitrahku sebagai seorang hamba, istri dan juga ibu. Ada yang salah ketika aku di luar sana. Banyak fitrah yang tergores, hingga aku melupakan sengaja fitrah bakat ku sebagai pelajar penulis. Fitrah adalah isi jiwa yang diinstal langsung oleh Allah. Aku sudah terlalu banyak menyakiti fitrahku sendiri. Hello my soul, this is me. I’m home, begitu aku bisikkan pada jiwaku.
Perlahan-lahan kutata kembali hidupku. Kupelajari dan kulakoni peranku melalui kehidupan. Menjalani semuanya dengan rileks. Ku kembalikan lagi peran diri ini, sebagai hambaMu, istri dan ibu. Saat itu, aku melakukan registrasi ulang menjadi pelajar penulis. Di usia 29 tahun aku mulai belajar menjadi blogger. Blogger receh, yang menceritakan sebagian hidupku pada halamanku. Tidak peduli siapa saja yang membacanya, yang penting aku bisa menulis. Terimakasih suami yang sudah memfasilitasi semuanya. Dan aku mulai mencintai non fiksi, seputar kehidupanku atau saran tentang apapun seputar keluarga, apapun itu, aku bisa menulis lagi. I’m student now.
MaaSyaa Allah Tabarakallah, bukan main aku terkejut saat melihat viewer blog ku sudah ribuan. Aku tak paham apa itu CEO, tapi coba tuliskan agar banyak pembaca, kata orang begitu. Aku pun mengikuti saran mereka. Tujuanku mulai berubah, saat aku menuliskan blog awalnya hanya ingin kembali menumpahkan hobiku. Mencari obat yang sedemian lama kucari-cari. Setelah begitu banyak pembaca sekaligus meminta saran terhadap salah satu topik di blogku, maka akupun menjadi tukang sharing. Begitulah kawan, tanpa disadari, ketika memilih menjadi penulis non fiksi aku mendapat dua poin. Dua hal yang sangat aku suka, membagi ilmu dan bermain kata.
Sedemikian baiknya Allah yang sudah melimpahkan banyak nikmat pada kita. Tugas kita hanya merawatnya. Agar nikmat dalam wujud fitrah dalam diri ini dapat bermanfaat bagi orang lain. Menjadi penulis hanyalah salah satu peran, peran kita sebagai manusia tentu banyak. Jangan sampai terlewat, jika menjadi penulis dapat membuat dirimu menjadi semakin baik, maka lanjutkanlah.
Apa indikator kau menjadi semakin baik?
Saat kau merasa kau semakin dekat denganNya, dan semakin ogah melakukan apa yang Dia larang terhadap umatnya.
Baarakallahu fiikum
Semoga Allah memberkahi kita semua
With love,
Mama Dhiyaan dan Danish
Komentar
Posting Komentar