Assalamualaikum moms..
Lama banget nih gak buka laptop sampe kagok di depan
layar.
Tapi rasa kagok itu terkalahkan saat hati ini terus
tergelitik untuk mengulas suatu bahasan yang cukup menggoda asa.. tsahhhh
Masih ingat dengan cuitan mas dokter tentang PAUD dan serba serbinya?
Awalnya saya cukup wow loh, kok ada dokter muda tumbenan
gitu care ama masalah kicik2.
Ternyata pas stalking in ignya, beliau adalah seorang
hipnoterapis.
Dan bukan tidak mungkin diantara ratusan pasiennya
mungkin ada beberapa yang bermasalah dengan terlalu dini nya si bocah
disekolahkan.
KEPEDULIAN,
Iya satu kata itu lah yang mendorong kuat mas dokter
untuk membuat cuitan.
Anyway,
Seperti biasa cuitan yang menentang kejamakan itu
menimbulkan keramaian sesaat.
Dan saya makin tertarik untuk mengulitinya.
GENERALISIR.
Tidak boleh mengeneralisir menjadi alasan pihak yang kontra.
“PAUD itu bukan pendidikan anak, PAUD itu bisnis atas
nama pendidikan”, demikian celotehnya.
Mungkin tidak bisa dipukul rata. Mungkin ada PAUD yang
membantu tumbuh kembang anak secara ikhlas, memungut bayaran sukarela, dsb.
Namun mas dokter kembali menekankan,
“ anak < 4 tahun ga akan bisa berpikir formal, ga akan
paham tentang tugas, gak akan paham tentang sekolah, jangan siksa mereka dengan
sesuatu yang gak akan bisa dikerjakan”
Dan lanjutnya,
“ bapak ibu tersayang, taman bermain terbaik untuk anak
itu tubuh orang tuanya, bukan ….”
Jelas sudah,
Mas dokter ingin menebar virus kebaikan : sesuatu yang berjalan
sesuai perkembangan dan kebutuhan anak usia dini. Dimana anak-anak balita ini
hanya butuh ayah, ibu, ayah dan ibu.
Namun kembali lagi ke keadaan tiap keluarga yang tentu
saja beda rumah beda isinya. Sehingga apa yang ingin disampaikan mas dokter gak
klop, karena seolah keluar dari sistem.
Padahal, apa yang beliau sampaikan sudah sangat sesuai
dengan sains dan kitabullah.
Jadi salah gak sih masuk PAUD??
Perlu penelitian pribadi lebih lanjut moms.
Pendapat mas dokter sudah sesuai dengan apa yang
ditekuninya, dengan apa yang sudah seharusnya.
Namun kembali lagi bahwa memutuskan anak untuk ikut PAUD atau
tidak berimpitan pada 3D. Ini rumusan saya sendiri ya, gak papa kalo gak setuju
hehehe.
Jadi 3D itu apa sih moms?
1.
Depend on what you need
2.
Depend on what you think
3.
Depend on where you
standing
Penasaran???
Yuk dikupas duluuuu.
1.
Depend on what you
need
Saat si
kecil masuk usia 3 tahun, moms pasti mulai ketar ketir, galau gitu. Ini anak
gue mau disekolahin dimana ya,
yang ala2
montessori, sekolah alam atau yang
tahfidz aja gitu ya sekalian. Duh lieurrrrrrr.
Itu baru 3
tahun loh.
Saat dimana ananda
masih perlu kelola emosi, kelola kinestetik.
Umur segitu
kan masih hobi tantrum.
Dan yang
paling penting TIDAK BOLEH dikenalkan calistung.
Kenapa??
Karena hippocampus,
bagian otak kita, belum berkembang di usia ini.
Hipocampus
BARU berkembang di usia 4 tahun.
Porsi
pemberian calistung di usia 4 tahun hanya 10 % (dr. Amir Zuhdi)
bagian otak inilah yang berfungsi memback up pikiran kognisi anak.
untuk bisa membaca dan berhitung diperlukan hipokampus
Oleh karena
itu,
Apa sih yang
kita butuhkan saat memasukkan anak ke PAUD?
Pastikan dlu,
buat need assessment nya.
Apa si anak
butuh calistung supaya cerdas seperti habibie?
Wong piranti
menangkap calistung aja belum ada kok, yakin ananda yang butuh?
memaksa anak belajar membaca dan berhitung di usia dini sama halnya dengan meminta bayi makan nasi dengan oseng kangkung dan tempe orek,
padahal bayi kan belum punya gigi.
bisa sih ketelen, tapi keselek akut nantinya.
Apa ananda
butuh teman bersosialisasi?
Sebab dirumah
terlampau pendiam karena tidak ada yang bisa diajak bicara selain pengasuh,
Dan biasanya
problem ini terjadi pada working mom.
Jika PAUD
solusi terakhirnya, maka pastikan bahwa sekolah tersebut tidak
memusatkan calistung sebagai pembelajaran utamanya.
2.
Depend on what you
think
Saya selalu
berpendapat bahwa pola pikir terbentuk sejak kita lahir hingga saat ini.
Pola pikir akan
menghasilkan beberapa sudut pandang.
Dan biasanya
sudut pandang itu diadopsi dari lingkungannya.
Pola pikir yang
mengharuskan anak bersekolah dini itu gak tergantung pada tinggi rendahnya
pendidikan kok.
Seperti yang
saya bilang tadi, bahwa kita terlanjur menerima sistem yang ada.
Sebagai contoh,
dokter bedah Danish, entah sudah ratusan atau ribuan kali membedah
pasien-pasiennya, bahkan gelar nya saja sampai tidak muat di kartu namanya,
Namun beliau
pun salah satu dokter yang setuju dengan dengan PAUD, ia menyarankan Danish untuk
bersekolah di usia 3 tahun.
Belum lagi
cara berpikir kita yang kurang ajeg sehingga bisa di intervensi oleh orang2
terdekat.
Misalnya
orangtua kita sendiri, tetangga, saudara, dsb.
So, untuk
menentukan anak perlu PAUD atau tidak selain need assessment terlebih dahulu
juga berangkat dari apa yang kita pikirkan, mudah terbawa arus atau tidak.
3.
Depend on where you
stand on
Terkadang tempat dimana kita
tinggal menentukan karakter ananda.
Berada di lingkungan yang tidak
kondusif untuk perkembangan ananda menjadi alasan utama kenapa ananda kudu di
PAUD kan.
Berharap di sekolah ananda
tersebut memiliki lingkungan edukasi yang cucok dan ananda menjadi anak yang
lebih baik.
Banyak teman saya yang pada
akhirnya menyekolahkan ananda karena di sekitar rumah tidak punya teman sebaya,
bundanya pun masih punya adik bayi, sehingga gak jarang anak2 tersebut juga
mengalami keterlambatan bicara, berharap bisa bersosialisasi dengan teman
balitanya.
Pada akhirnya ananda bersekolah
di usia 3 tahun atau bahkan kurang.
Tiga D yang saya ungkapkan tersebut hanyalah pemikiran
sesaat kala mengupas bawang merah di dapur lusa lalu.
Pada dasarnya PAUD atau tidak keputusan ada di tangan
ayah bunda.
Sekali lagi tanyakan pada diri kita masing-masing.
Silahkan asah kembali naluri keayah ibuan kita hingga
lahirlah keputusan yang maha bijaksana.
Pendidikan adalah salah satu pengisi relung jiwa, jangan
sampai pendidikan yang tidak sesuai menyebabkan malformasi jiwa ananda.
Karena ananda aadalah amanah sekali dalam seumur hidup
kita, marilah kita bersama memahami mereka bukan ego dewasa kita, orangtuanya.
Sebab kelak, orangtua lah yang di hisab,
Bukan tetangga, bukan kerabat, saudara, ataupun
pengasuhnya,
Tetapi KITA.
Barakallohu fiikum
Be positive,
Mama Dhiyaan & Danish



Komentar
Posting Komentar